Monthly Archives: Desember 2018

Profil Lab. kampung Ternak Jogja

Profil lab kampung Ternak Jogja

Oleh: drh. Imam Abror

Kampung Ternak Jogja yang merupakan inisiasi dari Sarjana Membangun Desa Wirausaha Pendamping yang ditugaskan untuk mendampingi kelompok-kelompok ternak di Kota Yogyakarta sebagai langkah integrasi antar beberapa kelompok ternak dikota Yogyakarta. Sehingga ini merupakan konsep perkumpulan kelompok ternak yang ada dikampung-kampung di Kota Yogyakarta.  Yogyakarta yang identik dengan perkampungan menjadi latar belakang penamaan perkumpulan ini menjadi Kampung Ternak Jogja.  Konsep kampung ternak Jogja ini awal mulanya digagas pada awal tahun 2014. Sebagai bentuk tanggung jawab pendampingan agribisinis khsususnya kepada para peternak dalam  pengembangan usaha budidaya peternakan dan mempertahankan kelompok ternak yang ada dikota Yogyakarta.

Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2015 kami mendirikan laboratorium Kampung Ternak Jogja sebagai tempat observasi, ujicoba ternak dan percobaan pembuatan pakan yang kemudian hasilnya disampaikan di kelompok ternak yang tergabung di Kampung Ternak Jogja.  Sehingga Laboratorium kampung ternak Jogja sampai saat ini terus bergerak dibidang agribisnis selain menjual produk ternaknya juiga sebagai media langsung penyambung anatara user dengan Peternak di kelompok ternak yang tergabung di Kampung Ternak Jogja.  Sejak tahun 2015 Laboratorium Kampung ternak Jogja bersama Kelompok ternak di kampung ternak Jogja menyediakan ternak-ternak berkualitas untuk jualbeli, Aqiqoh dan kurban yang diharapkan dapat menjadi barokah bagi penyedia ternak dan shohibul kurban yang membelinya. Dana untuk usaha ini kami kumpulkan dari saudara, teman dan sejawat lainnya untuk bekerjasama bagi hasil/syirkah. Sehingga sampai saat ini kerjasama/syirkah bagi hasil untuk usaha ini terus berjalan.

 

Latar Belakang

Kota Yogyakarta merupakan kota dengan luas 32,5 km2, cukup sempit dibandingkan kota-kota besar lainnya. Kota Yogyakarta diapit oleh dua kabupaten besar yaitu Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul sehingga tidak menyurutkan masyarakat di Kota Yogyakarta untuk mengembangkan lahannya, menjadi lahan produktif peternakan dan pertanian. Lahan yang dimanfaatkan masyarakat Kota Yogyakarta untuk peternakan kebanyakan berada dibeberapa titik antara lain kecamatan Tegalrejo, Kotagede dan Umbulharjo, sedangkan titik pertanian khususnya hortikultura sebagian tersebar diseluruh Kecamtatan di Kota Yogyakarta dengan memanfaatkan lahan yang tersedia.

Kampung ternak Jogja merupakan gabungan kelompok ternak se-Kota Yogyakarta yang terdiri dari kelompok ternak sapi, domba kambing dan ayam. Sedangkan Laboratorium kampung ternak jogja merupakan hasil desain bersama sebagai lokasi pembelajaran dari peternak yang tergabung dikampung ternak jogja selain sebagai mitra dalam pengembangan kelompok-kelompok yang ada dikampung Ternak Jogja.

Tantangan para peternak di Kota Yogyakarta cukup berat terkait dengan lingkungan sekitar. Kondisi pemukiman yang sudah padat memunculkan berbagai macam keluhan dari masyarakat sekitar, kondisi ini memang dilematis, dikarenakan para peternak di Kota Yogyakarta masih mengandalkan penghasilan salah satunya dari hasil ternaknya. Sebagian besar peternak Kota Yogyakarta adalah masyarakat ekonomi menegah kebawah dengan pekerjaan serabuta. Selain itu pemasaran yang kemudian menjadi permasalahan di peternak-peternak Kota Yogyakarta juga menjadi permasalahani inti namun konsep mitra dan usaha berr-Jamaah mencoba dikembangkan untuk mengatasi permasalahan pemasaran ini.

Konsep Perma-culture yang kemudian dipadukan dalam perihal pemberdayaan, mitra, edu-wisata, pengolahan limbah ramah lingkungan menggunakan reaktor cacing diharapkan menjadi solusi terhadap permasalahan peternakan yang ada di Kota Yogyakarta. Konsep perma-culture kemudian diintegrasikan dengan pertanian, menciptakan gerakan ketahanan pangan dan ketahanan pangan sumber energi rumah tangga. Peternak secara ekonomi diuntungkan (pemeberdayaan, mitra, eduwisata, kuliner) dan keberlanjutan usaha kelompok ternak di Kota Yogyakarta berlanjut, limbah teratasi, lingkungan asri serta ketahanan pangan maupun ketahanan pangan sumber energi sebagian tercukupi dengan pola perma-culture dimasing-masing masyarakat Kota Yogyakarta, sehingga klaim Kota Yogyakarta sebagai Kota Ramah Ternak dapat menjadi inspirasi kota-kota besar lainnya di  Indonesia.

Categories: Kampung ternak | Tinggalkan komentar

Pengaruh Pemberian Madu bunga salam dan Getah Termas dalam menurunkan tingkat mortalitas kasus aflatoxicosis pada Domba. Oleh: drh. Imam Abror

Pengaruh Pemberian Madu bunga salam dan Getah Termas dalam menurunkan tingkat mortalitas kasus aflatoxicosis pada Domba.

Oleh: drh. Imam Abror

Peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat yang diikuti dengan kesadaran akan gizi menyebabkan permintaan produk hewani menjadi tinggi. Produk hewani sangat erat kaitannya dengan perkembangan peternakan. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan daging sebagai salah satu sumber protein. Pemenuhan akan daging mempunyai prospek ke depan yang baik dan ternak ideal untuk dikembangkan di indonesia adalah temak domba, karena domba sangat cocok daerah  tropis  dan memiliki daya tahan terhadap  kekeringan  serta  adaptasi  tinggi  (Ensminger  et  al.,1990).

 

Meningkatnya kebutuhan masyarakat akan domba dengan menjalarnya ussaha dengan bahan baku daging domba seperti warung sate, tongseng, gule, catering Aqiqoh menjadikan prospek daging domba saat ini semakin baik. Menurut mantan  Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro tahun 2014 sebanyak 13% penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa merupakan pemakan daging kambing dan domba dengan rata-rata tingkat konsumsi sebanyak 1 kg per tahun. Artinya, tingkat konsumsi daging kambing dan domba di dalam Negeri mencapai 32,5 juta kg per tahun.(Anonim,2015). Menurut Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2017 Direktorar jenderal peternakan dan kesehatan Hewan kementerian Pertanian data populasi domba di Indonesia ditahun 2017 mencapai 16.462.274, populasi kambing 18.410.379, sedangkan produksi daging domba mencapai 54.818 ton, kambing 70.024 ton dari tahun 2013 ada kenaikan 5% setiap tahunnya, bahkan dari tahun 2016 ke 2017 produksi daging domba mencapai kenaikan 16% (Anonim, 2017).

 

Meningkatnya kebutuhan domba secara otomatis menjalarnya peternakan/penggemukan domba kemudian semakin banyaknya produk pakan domba yang berasal dari bahan biji-bijian dan kacang-kacangan. Penggunakan bahan baku konsentrat dari bahan biji-bijian kacang-kacangan dapat menjadi kerawanan timbulnya Aspergilus flavus dan Aspergilus parasiticus yang dapat menghasilkan cemaran toxin/racun berbahaya (Aflatoxin) (Anonim,2000).

 

Aflatoksin adalah toksin yang sangat poten dan telah dikenal sebagai penyebab kanker hati. Di samping itu, aflatoksin juga dapat menimbulkan gangguan penting lain. Terdapat empat jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1 dan G2. Aflatoksin B1 merupakan karsinogen yang paling potensial. Paparan kronis aflatoksin menyebabkan terjadinya penurunan imunitas dan terganggunya metabolisme mikronutrien yang penting bagi kesehatan. Pada hewan selain  bersifat  karsinogenik,  aflatoksin  juga  bersifat  genotoksik, hepatoksik, nefrotoksik imunosupresif  pada  hewan (Wu F, 2004). Tercemarnya pakan ternak oleh kapang dan aflatoksin yang dihasilkannya juga dilaporkan dapat mengganggu fungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan unsur mineral, khususnya tembaga, besi, kalsium, fosfor serta beta-karoten sehingga Aflatoxin ini termasuk penyebab tertinggi kematian pada hewan ternak (Jassar dan Balwant Singh, 1989 ; Abdelhemid dan Dorra, 1990 ; Dimri et al., 1994 ; Mani et al., 2001 ; Prabaharan et al., 1999).

 

Penelitian ini ditujukan pada domba karena tingkat kematian domba yang disebabkan  aflatoxin cukup tinggi dan domba merupakan salah satu hewan ternak yang tahan terhadap aflatoxin, berbeda dengan hewan-hewan lainnya yang cenderung sensitif dengan toxin ini, termasuk jenis ruminansia lain seperti kambing dan sapi. Harapan dari penelitian ini adalah kematian pada domba dapat terkendalikan melalui penggunaan madu bunga salam dan getah pohon termas, pengurangan bahaya residu aflatoxin pada daging dan hepar domba kemudian penelitian ini dapat menjadi rujukan terapi dan pengobatan pada manusia akibat paparan aflatoxin dikarenakan sekitar 4,5 miliar manusia yang tinggal di negara berkembang secara kronis terpapar oleh aflatoksin dalam jumlah yang tidak terkontrol. Aflatoksin dapat mempengaruhi imunitas dan nutrisi manusia. Ada kemungkinan besar bahwa 6 faktor risiko teratas yang diidentifikasi oleh WHO (yang meliputi 43.6% dari disability-adjusted life years [DALYs]), seperti dengan halnya kanker hati, faktor-faktor risiko itu dipicu oleh aflatoksin. Di beberapa negara di Afrika dan Asia, aflatoksin menyebabkan wabah aflatoksikosis akut dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (William et al, 2004).

 

Madu adalah  cairan  kental  yang  dihasilkan  oleh  lebah  dari  nektar Bunga (Molan,1999). Madu mengandung  multienzim  seperti  diastase, glukosa oksidase, katalase  serta vitamin  A,  betakaroten,  vitamin  B  kompleks,  C,  D,  E  dan  K. Selain  itu  juga  dilengkapi mineral berupa  kalium,  besi,  magnesium,  fosfor,  tembaga,  mangan,  natrium kalsium. Bahkan terdapat hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh glukosa oksidase dan inhibin (Hamad, 2007). Kandungan berbagai vitamin, mineral, enzim pada madu dapat meningkatkan imunitas domba akibat kondisi imunosupresif dan khsusunya vitamin B,E serta mineral berfungsi sebagai perbaikan sistem saraf karena kondisi neurotoksik yang kemudian mengakibatkan kelemahan saraf (Gallagher, 2004). Selain itu kondisi imunosupresif memungkinkan dapat terinfeksi penyakit sekunder seperti infeksi bakteri. Madu juga memiliki manfaat sebagai antimikroba. Aktivitas antimikroba  dari  madu  sebagian  besar  disebabkan  oleh adanya  hidrogen  peroksida  yang  dihasilkan  secara  enzimatik  pada madu. Kandungan hidrogen peroksida ini menghasilkan radikal bebas hidroksil dengan efek antimikroba. Selian faktor hidrogen peroksida juga ada faktor inhibin, mekanisme hiperosmolar dan higroskopis sebagai antimikroba. Madu mengandung senyawa fenofilik yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan berfungsi dalam menangkal radikal bebas yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada protein dan lemak. Antioksidan dapat mencegah terjadinya karsinogenesis dan mutagenesis (Abdul et al. 2008).

 

Bunga salam memiliki kandungan tidak jauh beda dengan daun salam. Madu yang dihasilkan dari bunga salam memiliki kelebihan lebih dibanding madu lainnya. Berdasarkan penelitian (Ariyanti. et al., 2007), daun salam mengandung alkaloid, saponin, steroid, fenolik, flavonoid, minyak atsiri. Ekstrak metanol daun salam banyak mengandung golongan flavonoid dan fenol. Menurut Noveriza dan Miftakhurohmah (2010) bahwa, ekstrak metanol daun salam dapat menghambat pertumbuhan vegetatif jamur dan efektif menurunkan jumlah konidia dan berat hifa (Noveriza, 2010)

 

Tanaman obat termas sudah ditemukan oleh nenek moyang masyarakat sekitar Gunung Nglanggeran/Gunung Api Purba kabupaten Gunungkidul. Tanaman ini hidup menempel di Lereng Gunung Nglanggeran. Menurut cerita dari masyarakat sudah diyakini kira-kira pada tahun 1898 masyarakat yang sakit akan sembuh dengan meminum getah dari tanaman pohon termas ini (Anonim, 2016), khususnya penyakit hepatitis dan gastritis. Banyak masyarakat menyakini tanaman termas ini dapat menyembuhkan penyakit hepatitis (Anonim, 2012). Belum ada penelitian mengenai kandungan dari tanaman termas ini sehingga masih belum bisa dibuktikan terkait kandungan yang dapat menyembuhkannya. Namun, secara empiris khasiat dari getah daun termas ini bisa dirasakan oleh masyarakat yang meminumnya. Kesimpulan sementara getah daun termas ini mengandung antioksidan yang tinggi, bersifat basa dan memiliki kandungan zat antiinflamasi. Sifat basa inilah yang mampu menghambat produksi aflatoksin dan menghambat pertumbuhan Aspergilus sp. Antiinflamasi yang mungkin terkandung adalah flavonoid seperti kandungan getah-getah tanaman pada umumnya dan kandungannya melebihi kandungan tanaman lainnya sehingga mampu mengendalikan inflamasi pada hepar dan saraf akibat toxin ini (Mota et al, 2009). Serta kandungan antioksidan pada daun termas bersama-sama dengan antioksidan yang terkandung pada madu dapat mengendalikan sifat karsinogenik pada aflatoxin. Penelitian ini harapannya juga membuktikan secara ilmiah kandungan getah daun termas sekaligus implementasi khasiat dari getah tersebut.

 

Categories: Tulisan Ilmiah | Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.